Untuk
membentuk agar bulu kemaluanku tumbuh dengan rapih, suatu hari timbul niat
isengku untuk mencukur total. Kusiapkan alat-alat dahulu sebelum kumulai
aksinya. Mulai dari gunting, kaca cermin, lampu duduk, dan koran bekas untuk
alas agar bekas cukuran tidak berantakan kemana-mana. Kupasang cermin seukuran
buku tulis tepat di depan kemaluanku untuk melihat bagian bawah yang tidak
terlihat secara langsung. Tidak lupa pula kunyalakan lampu duduk di antara
selangkanganku. Kumulai pelan-pelan, kugerakkan pisau cukur dari atas ke bawah.
Baru
mulai aku menggoreskan pisau cukur itu, aku dengar suara langkah masuk ke
kamarku, segera aku lihat bayangan di kaca buffet, tidak jelas benar, tapi aku
bisa menebaknya bahwa dia adalah si Eni, teman istriku
Aku
bingung juga, mau membereskan perangkat ini terlalu repot, tidak sempat. Memang
aku melakukan kesalahan fatal, aku lupa mengunci pintu depan ketika kumulai
kegiatan ini. Akhirnya dalam hitungan detik muncul juga wajah si Eni ke dalam
kamarku. Dalam waktu yang singkat itu, aku sempat meraih celana dalamku untuk
menutupi kemaluanku. Sambil meringis berbasa-basi sekenanya.
"He...
he... ada apa En..?" sapaku gelagapan.
"Eh,
Mas Adi lagi ngapain..?" kata Eni yang nampaknya juga sedang
menyembunyikan kegugupannya.
Si
Eni memang akrab dengan saya, dia sering minta bimbingan dalam hal pelajaran di
sekolahnya. Khususnya pada mata pelajaran matematika yang memang menjadi
kegemaranku. Eni sendiri masih sekolah di SMU. Berkata jorok memang sering kami
saling lakukan tetapi hanya sebatas bicara saja. Apalagi Eni juga
menanggapinya, dengan perkataan yang tidak kalah joroknya. Tapi hanya sebatas
itulah.
Kembali
pada adegan tadi, dimana aku tengah kehabisan akal menanggapi kehadirannya yang
memergokiku sedang mencukur bulu kemaluan. Akhirnya kubuka juga kekakuan ini.
"Enggak
apa-apa En, biasa... kegiatan rutin."
"Apaan
sih..?"
"Eni
sudah berusia 17 tahun belum..?"
"Emangnya
kenapa kalau udah..?" kata Eni masih berdiri dengan canggung sambil terus
menatapku dengan serius.
"Gini
En, aku khan lagi nyukur ini nih, aku minta tolong kamu bantuin aku. Soalnya di
bagian ini susah nyukur sendiri..." kataku sambil kuulurkan pisau cukur
padanya.
"Mas
Adi, ih..!" tapi ia terima juga pisau cukurnya, sambil duduk di dekatku.
Aku
angkat celana yang tadi hanya kututupkan di atas kemaluanku.
"Eni
tutup dulu pintunya yach Mas..?"
Dia
menutup pintu depan dan pintu kamar. Sebenarnya masih ada pintu belakang yang
langsung menuju ke dapur rumah induk. Namun pada jam segini aku yakin bahwa
tidak ada orang di dalam. Selesai Eni menutup pintu, dia agak kaget melihat
kemaluanku terbuka, sambil menutup mulutnya ia meminta agar aku menutupnya.
"Tutup
itunya dong..!" katanya dengan manja.
Aku
katupkan kedua pahaku, batang kemaluanku aku selipkan di antaranya, sehingga
tidak terlihat dari atas, sedangkan bulunya terlihat dengan jelas.
"Nah
begini khan nggak terlihat..." kataku, dan Eni nampaknya setuju juga.
Eni
ragu-ragu untuk melakukannya, namun segera aku yakinkan.
"Nggak
apa-apa En, kamu khan sudah 17 tahun, berarti sudah bukan anak-anak lagi,
lagian khan cuman bulu, kamu juga punya khan, udah nggak apa-apa. Nanti kalau
aku sakit, aku bilang deh.."
"Bukannya
apa-apa, aku geli hi.. hi.." sambil cekikikan.
Dengan
super hati-hati dia gerakkan juga pisau cukur mulai menghabisi bulu-bulu
kemaluanku. Karena terlalu hati-hatinya maka ia harus melakukannya dengan
berulang-ulang untuk satu bagian saja.
Sentuhan-sentuhan
kecil tangannya di pahaku mulai menimbulkan getaran yang tidak bisa
kusembunyikan. Dan ini membuat
kemaluanku
semakin
tegang, tidak hanya itu, hal ini juga menyebabkan siksaan tersendiri. Dengan
posisi tegang dan tercepit di antara pahaku menjadikan
kemaluanku
semakin
pegal. Sampai akhirnya tidak bisa kutahan, kukendorkan jepitan kedua pahaku,
sehingga dengan cepat meluncurlah sebuah tongkat panjang dan keras mengacung ke
atas menyentuh tangan Eni yang masih sibuk mempermainkan pisau cukurnya.
Begitu
tersentuh tangannya oleh benda kenyal panas
kemaluanku
,
dia kaget dan hampir berteriak.
"Oh,
apa ini Mas..? Kok dilepas..?" katanya gugup ketika menyadari bahwa batang
kemaluanku
lepas
dari jepitan dan mengarah ke atas.
"Iya
En. Habis nggak tahan. Nggak apa-apa deh, dihadapan cewek harus kelihatan lebih
gagah gitu.."
"Mas
Adi sengaja ya..?"
"Suer..,
ini cuma normal."
Eni
masih memperhatikan
kemaluanku
yang
sudah besar dan kencang dengan wajah yang sulit digambarkan. Antara takut dan
ingin tahu. Lalu dia raih kain yang ada di dekatku untuk menutupinya.
"Kenapa
ditutup En..?"
"Aku
takut, abis punya Mas Adi besar banget.""Emangnya Eni belum pernah
melihat kemaluan laki-laki..?" tanya saya.
Eni
diam saja, tapi digelengkan kepalanya dengan lemah.
"Ayo
deh diteruskan," bisikku.
Kali
ini Eni menjadi super hati-hati mencukurnya. Mungkin takut tersentuh
kemaluanku
.
Sedangkan aku sangat ingin tersentuh olehnya. Tapi aku khawatir dia semakin
takut saja. Akhirnya kubiarkan saja dia menyelesaikan tugasnya dengan caranya
sendiri.
Akhirnya
harapanku sebagian terkabul juga. Ketika Eni mulai mencukur bulu bagian samping
kemaluanku, mau tidak mau dia harus menyingkirkan
kemaluanku
.
"Maaf
ya Mas..!" dengan tangan kirinya ia mendorong
kemaluanku
yang
masih tertutup kain bagian atasnya ke arah kiri, sehingga bagian kanannya agak
leluasa. Untuk lebih membuka areal ini, aku rebahkan tubuhku dan kubentangkan
sebelah kakiku.
Eni
dengan sabar memainkan pisau cukurnya membersihkan bulu-bulu yang menempel di
sekitar
kemaluanku
,
nafasnya mulai memburu, dan kutebak saja bahwa dia juga sedang horny. Walaupun
masih dengan ragu-ragu dia tetap memegang. celdamz.blogspot.com
kemaluanku
.
Didorong ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah. Aku hanya merasakan kenikmatan
yang luar biasa. Tanpa kusadari kain penutup kepala kemaluanku sudah
tersingkap, dan ini nampaknya dibiarkan saja oleh Eni, yang sekali-kali melirik
juga ke arah kepala
kemaluanku
yang
mulus dan besar itu.
Lama-kalamaan,
Eni semakin terbiasa dengan benda menakjubkan itu. Dengan berani, akhirnya dia
singkapkan kain yang menutup sebagian
kemaluanku
itu.
Dengan terbuka begitu, maka dengan lebih leluasa dia dapat menyantap
pemandangan yang jarang terjadi ini. Aku diam saja, karena aku sangat menyukainya
serta bangga mendapat kesempatkan untuk mempertontonkan batang
kemaluanku
yang
lumayan besar.
"Udah
bersih Mas..."
Kulihat
kemaluanku
sudah
pelontos, gundul. Wah, jelek juga tanpa bulu, pikirku.
"Di
bawah bijinya udah belum En..?" aku pura-pura tidak tahu bahwa di daerah
itu jarang ada bulu.
Lalu
dengan hati-hati ia sigkapkan kedua bijiku ke atas. Uh, rasanya enak sekali.
"Udah
bersih juga Mas..." ia mengulanginya.
Katanya
datar saja. Menandakan bahwa hatinya sedang ada kecamuk. Aku tarik lengannya,
dan dengan sengaja kusenggol payudaranya, dan kukecup keningnya.
"Terima
kasih ya En..!"
Tanpa
kusadari, sejak dia memberanikan diri mencukur bulu kemaluanku tadi, buah
dadanya yang berukuran sedang terus menempel pada dengkulku. Begitu kukecup keningnya,
dia diam saja, mematung sambil menundukkan mukanya. Lalu kuangkat dagunya dan
kucium bibirnya, kupeluk sepuas-puasnya. Keremas paudaranya dan nafasnya makin
memburu. Aku raih
kemaluan
nya
tapi dia diam saja, kuselipnkan satu jarinya dari sela-sela celana dalamnya.
Wah, ternyata sudah basah bukan main. Namun Eni segera terkejut, dan melepaskan
diri dariku. Disun pipiku, dan dia segera lari ke rumah induk lewat pintu
belakang.
Aku
benar-benar puas, kupandangi tampang
kemaluan
gundulku
yang masih tegak.
"Suatu
saat nanti engkau akan mendapat bagiannya..." kataku dalam hati.
Sejak
peristiwa itu, kami memang tidak pernah bertemu dua mata dalam suasana yang
sepi. Selalu saja ada orang lain yang hilir mudik di kamarku. Sampai akhirnya
liburan datang dan kami semua masing-masing pulang kampung untuk beberapa
waktu. Liburan sekolah sudah selesai, Eni sudah datang lagi setelah berlibur ke
rumah orang tuanya di Tabanan, Bali. Begitu juga aku yang datang sebelum masa
kuliahku dimulai.
Waktu
itu hujan deras. Eni masih berada di kamarku (suasananya sepi karena tidak ada
orang sama sekali, termasuk di rumah induk) untuk minta bimbingan atas
pelajarannya. Begitu selesai, Eni menyandarkan tubuhnya ke dadaku sambil
berkata.
"Mas,
itunya sudah tumbuh lagi belum..? Hi... hi..." sambilnya ketawa cekikikan.
"Oh,
itu..? Lihat aja sendiri." sambil kupelorotkan celana pendekku sampai
lepas, dan kemaluanku yang masih lunglai menggantung.
"Mas
Adi ih, ngawur..." katanya.
Tapi
walaupun demikian, ia santap juga pemandangan itu sambil menyibakkan sebagian
T-Shirt-ku yang menutupi daerah itu. Bulu-bulu yang sudah rapih memenuhi lagi
sekitar
kemaluanku
,
segera terlihat dengan jelas.
"Nah,
begitu khan lebih oke..." katanya.
"Aku
kapok En, nggak mau nyukur plontos lagi."
"Kenapa
Mas..?"
"Waktu
mau numbuh. Bulunya tajam-tajam dan itu menusuk batangku."
"Habis
Mas Adi sukanya macem-macem sih..!" sambil terus memandang
kemaluanku
yang
masih tergantung lunglai, "Mas, kok itunya lemes sih..?"
"Iya
En, sebentar juga gede, asal diusap-usap biar seneng."
"Ah
Mas Adi sih senengnya enak terus."
Walaupun
berkata seperti itu, mau juga Eni mulai memegang
kemaluanku
dan
digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri. Membuat batang
kemaluanku
semakin
besar, keras dan mengacung ke atas. Eni makin menyandarkan kepalanya ke dadaku.
Dan langsung saja saya peluk dia, sedemikian rupa hingga payudaranya tesentuh
tangan kiriku. Rupanya Eni tidak pakai BH, sehingga kekenyalan payudaranya
langsung terasa olehku. Kupermainkan payudaranya, aku pencet, menjadikan Eni
terdiam seribu bahasa tetapi nafasnya semakin cepat. Demikian pula Eni dengan
hati-hati memainkan
kemaluanku
,
masih terus dibolak-balik, ke kanan dan ke kiri.
Aku
cium bibir Eni, dan dia menanggapinya dengan tidak kalah agresifnya. Barangkali
inilah suatu yang ditungu-tunggu. Aku lepas blouse-nya, dan payudaranya yang
masih kencang dan mulus dengan putingnya yang kecil berwarna coklat muda segera
terpampang dengan jelas. Karena tidak tahan, aku langsung menciuminya. Hal ini
menjadikan Eni semakin menggeliatkan tubuhnya, tandanya dia merasa nikmat. Aku
ikuti dia ketika dia mambaringkan tubuhnya di tempat tidur. Aku hisap-hisap
putting payudaranya, sementara rok dan celananya kupelorotkan. Eni setuju saja,
hal ini ditunjukkan dengan diangkatnya pantat untuk memudahkanku melepaskan
pakaian yang tersisa.
Begitu
pakaian bagian bawah terlepas, segera tersembul bukit mungil di antara
selangkangannya, rambutnya masih jarang, nyaris tidak kelihatan. Sekilas hanya
terlihat lipatan kecil di bagian bawahnya. Pemandangan ini sungguh membuat
nafsuku semakin memuncak. Begitu kuraba bagian itu, terasa lembut. Makin dalam
lagi barulah terasa bahwa dia sudah banyak berair. Eni masih merem-melek,
tangannya tidak mau lepas dari
kemaluanku
.
Begitu pula ketika kulepas pakaianku. Tangan Eni tidak mau lepas dari alat
vitalku yang semakin keras saja.
Begitu
aku sudah dalam keadaan bugil, aku kembali mempermainkan
kemaluan
nya,
ketika jari tengahku mau memasuki vaginanya yang sudah banjir itu. Pinggulnya
digoyangkannya tanda mengelak, aku hampir putus asa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar