Sebut saja namanya “Sidar” (nama
samaran). Dia adalah seorang wanita bersuku campuran. Bapaknya berasal dari
kota Menado dan Ibunya dari kota Makassar. Bapaknya adalah seorang polisi
berpangkat Serma, sedang ibunya adalah pengusaha kayu.
Singkat cerita, ketika hari pertama
aku ketemu dengan teman kuliahku itu, rasanya kami langsung akrab karena memang
sewaktu kami sama-sama duduk di bangku kuliah, kami sangat kompak dan sering
tidur bersama di rumah kostku di kota Bone. Bahkan seringkali dia mentraktirku.
“Nis, aku senang sekali bertemu
denganmu dan memang sudah lama kucari-cari, maukah kamu mengingap barang sehari
atau dua hari di rumahku?” katanya padaku sambil merangkulku dengan erat
sekali. Nama teman kuliahku itu adalah “Nasir”.
“Kita lihat saja nanti. Yang jelas
aku sangat bersukur kita bisa ketemu di tempat ini. Mungkin inilah namanya
nasib baik, karena aku sama sekali tidak menduga kalau kamu tinggal di kota
Makassar ini” jawabku sambil membalas rangkulannya. Kami berangkulan cukup lama
di sekitar pasar sentral Makassar, tepatnya di tempat jualan cakar.
“Ayo kita ke rumah dulu Nis, nanti
kita ngobrol panjang lebar di sana, sekaligus kuperkenalkan istriku” ajaknya
sambil menuntunku naik ke mobil Feroza miliknya. Setelah kami tiba di halaman
rumahnya, Nasir terlebih dahulu turun dan segera membuka pintu mobilnya di
sebelah kiri lalu mempersilakan aku turun. Aku sangat kagum melihat rumah
tempat tinggalnya yang berlantai dua. Lantai bawah digunakan sebagai gudang dan
kantor perusahaannya, sementara lantai atas digunakan sebagai tempat tinggal
bersama istri. Aku hanya ikut di belakangnya.
“Inilah hasil usaha kami Nis selama
beberapa tahun di Makassar” katanya sambil menunjukkan tumpukan beras dan
ruangan kantornya.
“Wah cukup hebat kamu Sir. Usahamu
cukup lemayan. Kamu sangat berhasil dibanding aku yang belum jelas sumber
kehidupanku” kataku padanya.
“Dar, Dar, inilah teman kuliahku
dulu yang pernah kuceritakan tempo hari. Kenalkan istri cantik saya” teriak
Nasir memanggil istrinya dan langsung kami dikenalkan.
“Sidar”, kata istrinya menyebut
namanya ketika kusalami tangannya sambil ia tersenyum ramah dan manis seolah
menunjukkan rasa kegembiraan.
“Anis”, kataku pula sambil membalas
senyumannya.
Nampaknya Sidar ini adalah seorang
istri yang baik hati, ramah dan selalu memelihara kecantikannya. Usianya
kutaksir baru sekitar 25 tahun dengan tubuh sedikit langsing dan tinggi badan
sekitar 145 cm serta berambut agak panjang. Tangannya terasa hangat dan halus
sekali. Setelah selesai menyambutku, Sidar lalu mempersilakanku duduk dan ia
buru-buru masuk ke dalam seolah ada urusan penting di dalam. Belum lama kami
bincang-bincang seputar perjalanan usaha Nasir dan pertemuannya dengan Sidar di
Kota Makassar ini, dua cangkir kopi susu beserta kue-kue bagus dihidangkan oleh
Sidar di atas meja yang ada di depan kami.
“Silakah Kak, dinikmati hidangan ala
kadarnya” ajakan Sidar menyentuh langsung ke lubuk hatiku. Selain karena
senyuman manisnya, kelembutan suaranya, juga karena penampilan, kecantikan dan
sengatan bau farfumnya yang harum itu. Dalam hati kecilku mengatakan, alangkah
senang dan bahagianya Nasir bisa mendapatkan istri seperti Sidar ini.
Seandainya aku juga mempunyai istri seperti dia, pasti aku tidak bisa ke
mana-mana
“Eh, kok malah melamun. Ada masalah
apa Nis sampai termenung begitu? Apa yang mengganggu pikiranmu?” kata Nasir
sambil memegang pundakku, sehingga aku sangat kaget dan tersentak.
“Ti.. Tidak ada masalah apa-apa kok.
Hanya aku merenungkan sejenak tentang pertemuan kita hari ini. Kenapa bisa
terjadi yah,” alasanku.
Sidar hanya terdiam mendengar kami
bincang-bincang dengan suaminya, tapi sesekali ia memandangiku dan menampakkan
wajah cerianya.
“Sekarang giliranmu Nis cerita
tentang perjalanan hidupmu bersama istri setelah sejak tadi hanya aku yang
bicara. Silahkan saja cerita panjang lebar mumpun hari ini aku tidak ada kesibukan
di luar. Lagi pula anggaplah hari ini adalah hari keistimewaan kita yang perlu
dirayakan bersama. Bukankah begitu Dar..?” kata Nasir seolah cari dukungan dari
istrinya dan waktunya siap digunakan khusus untukku.
“Ok, kalau gitu aku akan utarakan
sedikit tentang kehidupan rumah tanggaku, yang sangat bertolak belakang dengan
kehidupan rumah tangga kalian” ucapanku sambil memperbaiki dudukku di atas
kursi empuk itu.
“Maaf jika terpaksa kuungkapkan
secara terus terang. Sebenarnya kedatanganku di kota Makassar ini justru karena
dipicu oleh problem rumah tanggaku. Aku selalu cekcok dan bertengkar dengan
istriku gara-gara aku kesulitan mendapatkan lapangan kerja yang layak dan mempu
menghidupi keluargaku. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan rumah guna mencari
pekerjaan di kota ini. Eh.. Belum aku temukan pekerjaan, tiba-tiba kita ketemu
tadi setelah dua hari aku ke sana ke mari. Mungkin pertemuan kita ini ada
hikmahnya. Semoga saja pertemuan kita ini merupakan jalan keluar untuk
mengatasi kesulitan rumahtanggaku” Kisahku secara jujur pada Nasir dan
istrinya.
Mendengar kisah sedihku itu, Nasir
dan istrinya tak mampu berkomentar dan nampak ikut sedih, bahkan kami semua
terdiam sejenak. Lalu secara serentak mulut Nasir dan istrinya terbuka dan
seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba mereka saling menatap dan
menutup kembali mulutnya seolah mereka saling mengharap untuk memulai, namun
malah mereka ketawa terbahak, yang membuatku heran dan memaksa juga ketawa.
“Begini Nis, mungkin pertemuan kita
ini benar ada hikmahnya, sebab kebetulan sekali kami butuh teman seperti kamu
di rumah ini. Kami khan belum dikaruniai seorang anak, sehingga kami selalu
kesepian. Apalagi jika aku ke luar kota misalnya ke Bone, maka istriku terpaksa
sendirian di rumah meskipun sekali-kali ia memanggil kemanakannya untuk
menemani selama aku tidak ada, tapi aku tetap menghawatirkannya. Untuk itu,
jika tidak memberatkan, aku inginkan kamu tinggal bersamaku. Anggaplah kamu
sudah dapatkan lapangan kerja baru sebagai sumber mata pencaharianmu. Segala
keperluan sehari-harimu, aku coba menanggung sesuai kemampuanku” kata Nasir
bersungguh-sungguh yang sesekali diiyakan oleh istrinya.
“Maaf kawan, aku tidak mau
merepotkan dan membebanimu. Biarlah aku cari kerja di tempat lain saja dan..” Belum
aku selesai bicara, tiba-tiba Nasir memotong dan berkata..
“Kalau kamu tolak tawaranku ini
berarti kamu tidak menganggapku lagi sebagai sahabat. Kami ikhlas dan bermaksud
baik padamu Nis” katanya.
“Tetapi,” Belum kuutarakan maksudku,
tiba-tiba Sidar juga ikut bicara..
“Benar Kak, kami sangat membutuhkan
teman di rumah ini. Sudah lama hal ini kami pikirkan tapi mungkin baru kali ini
dipertemukan dengan orang yang tepat dan sesuai hati nurani. Apalagi Kak Anis
ini memang sahabat lama Kak Nasir, sehingga kami tidak perlu ragukan lagi.
Bahkan kami sangat senan jika Kak sekalian menjemput istrinya untuk tinggal
bersama kita di rumah ini” ucapan Sidar memberi dorongan kuat padaku.
“Kalau begitu, apa boleh buat.
Terpaksa kuterima dengan senang hati, sekaligus kuucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas budi baiknya. Tapi sayangnya, aku tak memiliki keterampilan
apa-apa untuk membantu kalian” kataku dengan pasrah.
Tiba-tiba Nasir dan Sidar bersamaan
berdiri dan langsung saling berpelukan, bahkan saling mengecup bibir sebagai
tanda kegembiraannya. Lalu Nasir melanjutkan rangkulannya padaku dan juga
mengecup pipiku, sehingga aku sedikit malu dibuatnya.
“Terima kasih Nis atas kesediaanmu
menerima tawaranku semoga kamu berbahagia dan tidak kesulitan apapun di rumah
ini. Kami tak membutuhkan keterampilanmu, melainkan kehadiranmu menemani kami
di rumah ini. Kami hanya butuh teman bermain dan tukar pikiran, sebab tenaga
kerjaku sudah cukup untuk membantu mengelola usahaku di luar. Kami
sewaktu-waktu membutuhkan nasehatmu dan istriku pasti merasa terhibur dengan
kehadiranmu menemani jika aku keluar rumah” katanya dengan sangat bergembira
dan senang mendengar persetujuanku.
Kurang lebih satu bulan lamanya kami
seolah hanya diperlakukan sebagai raja di rumah itu. Makanku diurus oleh Sidar,
tempat tidurku terkadang juga dibersihkan olehnya, bahkan ia meminta untuk
mencuci pakaianku yang kotor tapi aku keberatan. Selama waktu itu pula, aku
sudah dilengkapi dengan pakaian, bahkan kamar tidurku dibelikan TV 20 inch lengkap
dengan VCD-nya. Aku sangat malu dan merasa berutang budi pada mereka, sebab
selain pakaian, akupun diberi uang tunai yang jumlahnya cukup besar bagiku,
bahkan belakangan kuketahui jika ia juga seringkali kirim pakaian dan uang ke
istri dan anak-anakku di Bone lewat mobil.
Kami bertiga sudah cukup akrab dan
hidup dalam satu rumah seperti saudara kandung bersenda gurau, bercengkerama
dan bergaul tanpa batas seolah tidak ada perbedaan status seperti majikan dan
karyawannya. Kebebasan pergaulanku dengan Sidar memuncak ketika Nasir berangkat
ke Sulawesi Tenggara selama beberapa hari untuk membawa beras untuk di jual di
sana karena ada permintaan dari langgarannya.
Pada malam pertama keberangkatan
Nasir, Sidar nampak gembira sekali seolah tidak ada kekhawatiran apa-apa.
Bahkan sempat mengatakan kepada suaminya itu kalau ia tidak takut lagi
ditinggalkan meskipun berbulan-bulan lamanya karena sudah ada yang menjaganya,
namun ucapannya itu dianggapnya sebagai bentuk humor terhadap suaminya. Nasir
pun nampak tidak ada kekhawatiran meninggalkan istrinya dengan alasan yang
sama.
Malam itu kami (aku dan Sidar)
menonton bersama di ruang tamu hingga larut malam, karena kami sambil tukar
pengalaman, termasuk soal sebelum nikah dan latar belakang perkawinan kami
masing-masing. Sikap dan tingkah laku Sidar sedikit berbeda dengan malam-malam
sebelumnya. Malam itu, Sidar membuat kopi susu dan menyodorkanku bersama pisang
susu, lalu kami nikmati bersama-sama sambil nonton. Ia makan sambil berbaring
di sampingku seolah dianggap biasa saja. Sesekali ia membalikkan tubuhnya
kepadaku sambil bercerita, namun aku pura-pura bersikap biasa, meskipun ada
ganjalan aneh di benakku.
“Nis, kamu tidak keberatan khan
menemaniku nonton malam ini? Besok khan tidak ada yang mengganggu kita sehingga
kita bisa tidur siang sepuasnya?” tanya Sidar tiba-tiba seolah ia tak mengantuk
sedikitpun.
“Tidak kok Dar. Aku justru senang
dan bahagia bisa nonton bersama majikanku” kataku sedikit menyanjungnya. Sidar
lalu mencubitku dan..
“Wii de.. De, kok aku dibilangin
majikan. Sebel aku mendengarnya. Ah, jangan ulang kata itu lagi deh, aku tak
sudi dipanggil majikan” katanya.
“Hi.. Hi.. Hi, tidak salah khan.
Maaf jika tidak senang, aku hanya main-main. Lalu aku harus panggil apa? Adik,
Non, Nyonya atau apa?”
“Terserah dech, yang penting bukan
majikan. Tapi aku lebih seneng jika kamu memanggil aku adik” katanya santai.
“Oke kalau begitu maunya. Aku akan
panggil adik saja” kataku lagi.
Malam semakin larut. Tak satupun
terdengar suara kecuali suara kami berdua dengan suara TV. Sidar tiba-tiba
bangkit dari pembaringannya.
“Nis, apa kamu sering nonton kaset
VCD bersama istrimu?” tanya Sidar dengan sedikit rendah suaranya seolah tak mau
didengar orang lain.
“Eng.. Pernah, tapi sama-sama dengan
orang lain juga karena kami nonton di rumahnya” jawabku menyembunyikan sikap
keherananku atas pertanyaannya yang tiba-tiba dan sedikit aneh itu.
“Kamu ingat judulnya? Atau jalan
ceritanya?” tanyanya lagi.
“Aku lupa judulnya, tapi pemainnya
adalah Rhoma Irama dan ceritanya adalah masalah percintaan” jawabku dengan
pura-pura bersikap biasa.
“Masih mau ngga kamu temani aku
nonton film dari VCD? Kebetulan aku punya kaset VCD yang banyak. Judulnya
macam-macam. Terserah yang mana Anis suka” tawarannya, tapi aku sempat berfikir
kalau Sidar akan memutar film yang aneh-aneh, film orang dewasa dan biasanya
khusus ditonton oleh suami istri untuk membangkitkan gairahnya.
Setelah kupikir segala resiko,
kepercayaan dan dosa, aku lalu bikin alasan.
“Sebenarnya aku senang sekali, tapi
aku takut.. Eh.. Maaf aku sangat ngantuk. Jika tidak keberatan, lain kali saja,
pasti kutemani” kataku sedikit bimbang dan takut alasanku salah. Tapi akhirnya
ia terima meskipun nampaknya sedikit kecewa di wajahnya dan kurang semangat.
“Baiklah jika memang kamu sudah
ngantuk. Aku tidak mau sama sekali memaksamu, lagi pula aku sudah cukup senang
dan bahagia kamu bersedia menemaniku nonton sampai selarut ini. Ayo kita masuk
tidur” katanya sambil mematikan TV-nya, namun sebelum aku menutup pintu
kamarku, aku melihat sejenak ia sempat memperhatikanku, tapi aku pura-pura
tidak menghiraukannya.
Di atas tempat tidurku, aku gelisah
dan bingung mengambil keputusan tentang alasanku jika besok atau lusa ia
kembali mengajakku nonton film tersebut. Antara mau, malu dan rasa takut selalu
menghantukiku. Mungkin dia juga mengalami hal yang sama, karena dari dalam
kamarku selalu terdengar ada pintu kamar terbuka dan tertutup serta air di
kamar mandi selalu kedengaran tertumpah.
Setelah kami makan malam bersama
keesokan harinya, kami kembali nonton TV sama-sama di ruang tamu, tapi
penampilan Sidar kali ini agak lain dari biasanya. Ia berpakaian serba tipis
dan tercium bau farfumnya yang harum menyengat hidup sepanjang ruang tamu itu.
Jantungku sempat berdebar dan hatiku gelisah mencari alasan untuk menolak
ajakannya itu, meskipun gejolak hati kecilku untuk mengikuti kemauannya lebih
besar dari penolakanku. Belum aku sempat menemukan alasan tepat, maka
“Nis, masih ingat janjimu tadi
malam? Atau kamu sudah ngantuk lagi?” pertanyaan Sidar tiba-tiba mengagetkanku.
“O, oohh yah, aku ingat. Nonton VCD
khan? Tapi jangan yang seram-seram donk filmnya, aku tak suka. Nanti aku mimpi
buruk dan membuatku sakit, khan repot jadinya” jawabku mengingatkan untuk tidak
memutar film porn.
“Kita liat aja permainannya. Kamu
pasti senang menyaksikannya, karena aku yakin kamu belum pernah menontonnya,
lagi pula ini film baru” kata Sidar sambil meraih kotak yang berisi setumpuk
kaset VCD lalu menarik sekeping kaset yang paling di atas seolah ia telah mempersiapkannya,
lalu memasukkan ke CD, lalu mundur dua langkah dan duduk di sampingku menunggu
apa gerangan yang akan muncul di layar TV tersebut.
Dag, dig, dug, getaran jantungku
sangat keras menunggu gambar yang akan tampil di layar TV. Mula-mula aku yakin
kalau filmnya adalah film yang dapat dipertontonkan secara umum karena gambar
pertama yang muncul adalah dua orang gadis yang sedang berloma naik speed board
atau sampan dan saling membalap di atas air sungat. Namun dua menit kemudian,
muncul pula dua orang pria memburuhnya dengan naik kendaraan yang sama,
akhirnya keempatnya bertemu di tepi sungai dan bergandengan tangan lalu masuk
ke salah satu villa untuk bersantai bersama.
Tak lama kemudian mereka
berpasang-pasangan dan saling membuka pakaiannya, lalu saling merangkul,
mencium dan seterusnya sebagaimana layaknya suami istri. Niat penolakanku tadi
tiba-tiba terlupakan dan terganti dengan niat kemauanku. Kami tidak mampu
mengeluarkan kata-kata, terutama ketika kami menyaksikan dua pasang muda mudi
bertelanjang bulat dan saling menjilati kemaluannya, bahkan saling mengadu alat
yang paling vitalnya. Kami hanya bisa saling memandang dan tersenyum.
“Gimana Nis,? Asyik khan? Atau ganti
yang lain saja yang lucu-lucu?” pancing Sidar, tapi aku tak menjawabnya, malah
aku melenguh panjang.
“Apa kamu sering dan senang nonton
film beginian bersama suamimu?” giliran aku bertanya, tapi Sidar hanya
menatapku tajam lalu mengangguk.
“Hmmhh” kudengar suara nafas panjang
Sidar keluar dari mulutnya.
“Apa kamu pernah praktekkan seperti
di film itu Nis?” tanya Sidar ketika salah seorang wanitanya sedang menungging
lalu laki-lakinya menusukkan kontolnya dari belakang lalu mengocoknya dengan
kuat.
“Tidak, belum pernah” jawabku
singkat sambil kembali bernafas panjang.
“Maukah kamu mencobanya nanti?”
tanya Sidar dengan suara rendah.
“Dengan siapa, kami khan pisah
dengan istri untuk sementara” kataku.
“Jika kamu bertemu istrimu nanti
atau wanita lain misalnya” kata Sidar.
“Yachh.. Kita liat saja nanti. Boleh
juga kami coba nanti hahaha” kataku.
“Nis, apa malam ini kamu tidak ingin
mencobanya?” Tanya Sidar sambil sedikit merapatkan tubuhnya padaku. Saking
rapatnya sehingga tubuhnya terasa hangatnya dan bau harumnya.
“Dengan siapa? Apa dengan wanita di
TV itu?” tanyaku memancing.
“Gimana jika dengan aku? Mumpung
hanya kita berdua dan nggak bakal ada orang lain yang tahu. Mau khan?” Tanya
Sidar lebih jelas lagi mengarah sambil menyentuh tanganku, bahkan menyandarkan
badannya ke badanku.
Sungguh aku kaget dan jantungku
seolah copot mendengar rincian pertanyaannya itu, apalagi ia menyentuhku. Aku
tidak mampu lagi berpikir apa-apa, melainkan menerima apa adanya malam itu. Aku
tidak akan mungkin mampu menolak dan mengecewakannya, apalagi aku sangat
menginginkannya, karena telah beberapa bulan aku tidak melakukan sex dengan
istriku. Aku mencoba merapatkan badanku pula, lalu mengelus tangannya dan
merangkul punggungnya, sehingga terasa hangat sekali.
“Apa kamu serius? Apa ini mimpi atau
kenyataan?” Tanyaku amat gembira.
“Akan kubuktikan keseriusanku
sekarang. Rasakan ini sayang” tiba-tiba Sidar melompat lalu mengangkangi kedua
pahaku dan duduk di atasnya sambil memelukku, serta mencium pipi dan bibirku
bertubi-tubi.
Tentu aku tidak mampu menyia-nyiakan
kesempatan ini. Aku segera menyambutnya dan membalasnya dengan sikap dan
tindakan yang sama. Nampaknya Sidar sudah ingin segera membuktikan dengan
melepas sarung yang dipakainya, tapi aku belum mau membuka celana panjang yang
kepakai malam itu.
Pergumulan kami dalam posisi duduk
cukup lama, meskipun berkali-kali Sidar memintaku untuk segera melepaskan
celanaku, bahkan ia sendiri beberapa kali berusaha membuka kancingnya, tapi
selalu saja kuminta agar ia bersabar dan pelan-pelan sebab waktunya sangat
panjang.
“Ayo Kak Nis, cepat sayang. Aku
sudah tak tahan ingin membuktikannya” rayu Sidar sambil melepas rangkulannya
lalu ia tidur telentang di atas karpet abu-abu sambil menarik tanganku untuk
menindihnya. Aku tidak tega membiarkan ia penasaran terus, sehingga aku segera
menindihnya.
“Buka celana sayang. Cepat.. Aku
sudah capek nih, ayo dong,” pintanya.
Akupun segera menuruti permintaannya
dan melepas celana panjangku. Setelah itu, Sidar menjepitkan ujung jari kakinya
ke bagian atas celana dalamku dan berusaha mendorongnya ke bawah, tapi ia tak
berhasil karena aku sengaja mengangkat punggungku tinggi-tinggi untuk
menghindarinya.
Ketika aku mencoba menyingkap baju
daster yang dipakaianya ke atas lalu ia sendiri melepaskannya, aku kaget sebab
tak kusangka kalau ia sama sekali tidak pakai celana. Dalam hatiku bahwa
mungkin ia memang sengaja siap-siap akan bersetubuh denganku malam itu. Di
bawah sinar lampu 10 W yang dibarengi dengan cahaya TV yang semakin seru
bermain bugil, aku sangat jelas menyaksikan sebuah lubang yang dikelilingi
daging montok nan putih mulus yang tidak ditumbuhi bulu selembar pun.
Tampak menonjol sebuah benda mungil
seperti biji kacang di tengah-tengahnya. Rasanya cukup menantang dan
mempertinggi birahiku, tapi aku tetap berusaha mengendalikannya agar aku bisa
lebih lama bermain-main dengannya. Ia sekarang sudah bugil 100%, sehingga
terlihat bentuk tubuhnya yang langsing, putih mulus dan indah sekali dipandang.
“Ayo donk, tunggu apa lagi sayang.
Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini” pinta Sidar tak pernah berhenti untuk
segera menikmati puncaknya.
“Tenang sayang. Aku pasti akan
memuaskanmu malam ini, tapi saya masih mau bermain-main lebih lama biar kita
lebih banyak menikmatinya”kataku
Secara perlahan tapi pasti, ujung
lidahku mulai menyentuh tepi lubang kenikmatannya sehingga membuat pinggulnya
bergerak-gerak dan berdesis.
“Nikmat khan kalau begini?” tanyaku
berbisik sambil menggerak-gerakkan lidahku ke kiri dan ke kanan lalu menekannya
lebih dalam lagi sehingga Sidar setengah berteriak dan mengangkat tinggi-tinggi
pantatnya seolah ia menyambut dan ingin memperdalam masuknya ujung lidahku.
Ia hanya mengangguk dan
memperdengarkan suara desis dari mulutnya.
“Auhh.. Aakkhh.. Iihh.. Uhh.. Oohh..
Sstt” suara itu tak mampu dikurangi ketika aku gocok-gocokkan secara lebih
dalam dan keras serta cepat keluar masuk ke lubang kemaluannya.
“Teruuss sayang, nikkmat ssekalii..
Aakhh.. Uuhh. Aku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya” katanya dengan
suara yang agak keras sambil menarik-narik kepalaku agar lebih rapat lagi.
“Bagaimana? Sudah siap menyambut
lidahku yang panjang lagi keras?” tanyaku sambil melepaskan seluruh pakaianku
yang masih tersisa dan kamipun sama-sama bugil.
Persentuhan tubuhku tak sehelai
benangpun yang melapisinya. Terasa hangatnya hawa yang keluar dari tubuh kami.
“Iiyah,. Dari tadi aku menunggu.
Ayo,. Cepat” kata Sidar tergesa-gesa sambil membuka lebar-lebar kedua pahanya,
bahkan membuka lebar-lebar lubang vaginanya dengan menarik kiri kanan kedua
bibirnya untuk memudahkan jalannya kemaluanku masuk lebih dalam lagi.
Aku pun tidak mau menunda-nunda lagi
karena memang aku sudah puas bermain lidah di mulut atas dan mulut bawahnya,
apalagi keduanya sangat basah. Aku lalu mengangkat kedua kakinya hingga
bersandar ke bahuku lalu berusaha menusukkan ujung kemaluanku ke lubang vagina
yang sejak tadi menunggu itu. Ternyata tidak mampu kutembus sekaligus sesuai
keinginanku. Ujung kulit penisku tertahan, padahal Sidar sudah bukan perawan
lagi.
“Ssaakiit ssediikit.., ppeelan-pelan
sedikit” kata Sidar ketika ujung penisku sedikit kutekan agak keras. Aku
gerakkan ke kiri dan ke kanan tapi juga belum berhasil amblas.
Aku turunkan kedua kakinya lalu
meraih sebuah bantal kursi yang di belakanku lalu kuganjalkan di bawah
pinggulnya dan membuka lebar kedua pahanya lalu kudorong penisku agak keras
sehingga sudah mulai masuk setengahnya. Sidarpun merintih keras tapi tidak
berkata apa-apa, sehingga aku tak peduli, malah semakin kutekan dan kudorong
masuk hingga amblas seluruhnya. Setelah seluruh batang penisku terbenam semua,
aku sejenak berhenti bergerak karena capek dan melemaskan tubuhku di atas tubuh
Sidar yang juga diam sambil bernafas panjang seolah baru kali ini menikmati
betul persetubuhan.
Sidar kembali menggerak-gerakkan
pinggulnya dan akupun menyambutnya. Bahkan aku tarik maju mundur sedikit demi
sedikit hingga jalannya agak cepat lalu cepat sekali. Pinggul kami bergerak,
bergoyang dan berputar seirama sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yangberirama
pula.
“Tahan sebentar” kataku sambil
mengangkat kepala Sidar tanpa mencabut penisku dari lubang vagina Sidar
sehingga kami dalam posisi duduk.
Kami saling merangkul dan
menggerakkan pinggul, tapi tidak lama karena terasa sulit. Lalu aku berbaring
dan telentang sambil menarik kepada Sidar mengikutiku, sehingga Sidar berada di
atasku. Kusarankan agar ia menggoyang, mengocok dan memompa dengan keras lagi
cepat. Ia pun cukup mengerti keinginanku sehingga kedua tangannya bertumpu di
atas dadaku lalu menghentakkan agak keras bolak balik pantatnya ke penisku,
sehingga terlihat kepalanya lemas dan seolah mau jatuh sebab baru kali itu ia
melakukannya dengan posisi seperti itu. Karena itu, kumaklumi jika ia cepat
capek dan segera menjatuhkan tubuhnya menempel ke atas tubuhku, meskipun
pinggulnya masih tetap bergerak naik turun.
“Kamu mungkin sangat capek. Gimana
kalau ganti posisi?” kataku sambil mengangkat tubuh Sidar dan melapas
rangkulannya.
“Posisi bagaimana lagi? Aku sudah
beberapa kali merasa nikmat sekali” tanyanya heran seolah tidak tahu apa yang
akan kulakukan, namun tetap ia ikuti permintaanku karena ia pun merasa sangat
nikmat dan belum pernah mengalami permainan seperti itu sebelumnya.
“Terima saja permainanku. Aku akan
tunjukkan beberapa pengalamanku”
“Yah.. Yah.. Cepat lakukan apa saja”
katanya singkat.
Aku berdiri lalu mengangkat tubuhnya
dari belakang dan kutuntunnya hingga ia dalam posisi nungging. Setelah kubuka
sedikit kedua pahanya dari belakan, aku lalu menusukkan kembali ujung penisku
ke lubangnya lalu mengocok dengan keras dan cepat sehingga menimbulkan bunyi
dengan irama yang indah seiring dengan gerakanku. Sidar pun terengah-engah dan
napasnya terputus-putus menerima kenikmatan itu. Posisi kami ini tak lama sebab
Sidar tak mampu menahan rasa capeknya berlutut sambil kupompa dari belakan.
Karenanya, aku kembalikan ke posisi semula yaitu tidur telentang dengan paha
terbuka lebar lalu kutindih dan kukocok dari depan, lalu kuangkat kedua kakinya
bersandar ke bahuku.
Posisi inilah yang membuat permainan
kami memuncak karena tak lama setelah itu, Sidar berteriak-teriak sambil
merangkul keras pinggangku dan mencakar-cakar punggungku. Bahkan sesekali
menarik keras wajahku menempel ke wajahnya dan menggigitnya dengan gigitan
kecil. Bersamaan dengan itu pula, aku merasakan ada cairan hangat mulai
menjalar di batang penisku, terutama ketika terasa sekujur tubuh Sidar gemetar.
Aku tetap berusaha untuk menghindari
pertemuan antara spermaku dengan sel telur Sidar, tapi terlambat, karena baru
aku mencoba mengangkat punggungku dan berniat menumpahkan di luar rahimnya, tapi
Sidar malah mengikatkan tangannya lebih erat seolah melarangku menumpahkan di
luar yang akhirnya cairan kental dan hangat itu terpaksa tumpah seluruhnya di
dalam rahim Sidar. Sidar nampaknya tidak menyesal, malah sedikit ceria
menerimanya, tapi aku diliputi rasa takut kalau-kalau jadi janin nantinya, yang
akan membuatku malu dan hubungan persahabatanku berantakan.
Setelah kami sama-sama mencapai
puncak, puas dan menikmati persetubuhan yang sesungguhnya, kami lalu tergeletak
di atas karpet tanpa bantal. Layar TV sudah berwarna biru karena pergumulan
filmnya sejak tadi selesai. Aku lihat jam dinding menunjukkan pukul 12.00 malam
tanpa terasa kami bermain kurang lebih 3 jam. Kami sama-sama terdiam dan tak
mampu berkata-kata apapun hingga tertidur lelap. Setelah terbangun jam 7.00
pagi di tempat itu, rasanya masih terasa capek bercampur segar.
“Nis, kamu sangat hebat. Aku belum
pernah mendapatkan kenikmatan dari suamiku selama ini seperti yang kamu berikan
tadi malam” kata Sidar ketika ia juga terbangun pagi itu sambil merangkulku.
“Benar nih, jangan-jangan hanya
gombal untuk menyenangkanku” tanyaku.
“Sumpah.. Terus terang suamiku lebih
banyak memikirkan kesenangannya dan posisi mainnya hanya satu saja. Ia di atas
dan aku di bawah. Kadang ia loyo sebelum kami apa-apa. Kontolnya pendek sekali
sehingga tidak mampu memberikan kenikmatan padaku seperti yang kami berikan.
Andai saja kamu suamiku, pasti aku bahagia sekali dan selalu mau bersetubuh,
kalau perlu setiap hari dan setiap malam” paparnya seolah menyesali hubungannya
dengan suaminya dan membandingkan denganku.
“Tidak boleh sayang. Itu namanya
sudah jodoh yang tidak mampu kita tolak. Kitapun berjodoh bersetubuh dengan
cara selingkuh. Sudahlah. Yang penting kita sudah menikmatinya dan akan terus
menikmatinya” kataku sambil menenangkannya sekaligus mencium keningnya.
“Maukah kamu terus menerus memberiku
kenikmatan seperti tadi malam itu ketika suamiku tak ada di rumah” tanyanya
menuntut janjiku.
“Iyah, pasti selama aman dan aku
tinggal bersamamu. Masih banyak permainanku yang belum kutunjukkan” kataku
berjanji akan mengulanginya
“Gimana kalau istri dan anak-anakmu
nanti datang?” tanyanya khawatir.
“Gampang diatur. Aku kan pembantumu,
sehingga aku bisa selalu dekat denganmu tanpa kecurigaan istriku. Apalagi istriku
pasti tak tahan tinggal di kota sebab ia sudah terbiasa di kampung bersama
keluarganya tapi yang kutakutkan jika kamu hamil tanpa diakui suamimu” kataku.
“Aku tak bakal hamil, karena aku
akan memakan pil KB sebelum bermain seperti yang kulakukan tadi malam, karena
memang telah kurencanakan” kara Sidar terus terang.
Setelah kami bincang-bincang sambil
tiduran di atas karpet, kami lalu ke kamar mandi masing-masing membersihkan
diri lalu kami ke halaman rumah membersihkan setelah sarapan pagi bersama. Sejak
saat itu, kami hampir setiap malam melakukannya, terutama ketika suami Sidar
tak ada di rumah, baik siang hari apalagi malam hari, bahkan beberapa kali
kulakukan di kamarku ketika suami Sidar masih tertidur di kamarnya, sebab Sidar
sendiri yang mendatangi kamarku ketika sedang “haus”.
Entah sampai kapan hal ini akan
berlangsung, tapi yang jelas hingga saat ini kami masih selalu ingin
melakukannya dan belum ada tanda-tanda kecurigaan dari suaminya dan dari
istriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar